Lompat ke isi

Mitigasi perubahan iklim

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mitigasi perubahan iklim merupakan suatu usaha untuk mengurangi risiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.[1] Mitigasi tersebut telah dicoba baik dari pemerintahan dan kelompok pecinta lingkungan.[1] Menurut data, tiga negara yang paling banyak menyumbang emisi gas rumah kaca yaitu, Amerika, Cina, dan Indonesia.[2] Prediksi mengenai dampak perubahan iklim di antaranya, di Asia Tenggara pada tahun 2050 akan mengalami krisi air bersih. Di Eropa, akan terjadi gelombang panas dan penyebaran penyakit yang sangat cepat. Selain itu, akibat suhu yang tinggi akan terjadi kekeringan dan gagal panen. Di Indonesia sendiri, diprediksi sebesar 45% lahan pertanian akan mengalami kerusakan dan sebanyak 2000 pulau akan ikut terendam akibat air laut yang naik. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sangat serius berkontribusi aktif untuk turut serta dalam penanganan perubahan iklim. Komitmen Indonesia dalam perubahan iklim ditingkat internasional terwujud dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa–Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim, dan Undang-Undang No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change[2]. Selain itu, Komitmen Indonesia dalam perubahan iklim ditingkat nasional terwujud dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai implementasi dari Paris Agreement.[2] Komitmen Indonesia dalam perubahan iklim ditingkat daerah terwujud dalam Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang diaktualisasikan sesuai Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 dan telah disepakati oleh 34 provinsi di Indonesia.[2]

Pihak Pemerintah

[sunting | sunting sumber]

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia dengan mengeluarkan program Kampung Iklim (Proklim) yang dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.[1] Sistematika pelaksanaannya dengan melakukan sosialisasi dan memberikan penghargaan kepada masyarakat lokal yang turut serta dalam membantu mitigasi perubahan iklim. Pelaksanaan Program Kampung Iklim merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 84 tahun 2016. Implementasi yang diharapkan dari Kampung Iklim yaitu:

  1. Pengelolaan sampah limbah padat dan cair.[1]
  2. Penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi.[1]
  3. Budidaya pertanian rendah emisi gas rumah kaca.[1]
  4. Peningkatan tutupan vegetasi[1].
  5. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.[1]

Selain itu strategi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mitigasi perubahan iklim di antaranya:

  1. Memperkuat kapasistas pemerintah daerah dalam mendukung upaya daerah dalam mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim[1].
  2. Menjalin kemitraan dengan kementrian/lembaga terkait pemerintah daerah dunia usaha dan lembaga non-pemerintah.[1]
  3. Mendorong komitmen pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk mendukung pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta kegiatan ekonomi masyarakat.[1]
  4. Meningkatkan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna yang mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal serta kegiatan ekonomi masyarakat.[1]

Sektor Kehutanan

[sunting | sunting sumber]

Salah satu sektor yang mempunyai andil dalam meningkatnya emisi gas rumah kaca yaitu sektor kehutanan. Hal tersebut diakibatkan dari kegiatan pengalihan fungsi lahan hutan (deforestasi), yang disertai dengan perusakan hutan dengan skala yang luas. Salah satu cara yang telah dilakukan untuk mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca di Indonesia yaitu dengan penanaman bibit pohon. Selain itu, pihak pemerintah turut serta membangun Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Industri, dan Hutan Kemasyarakatan.[3] Selain itu, mengelola tata air dan pemeliharaan jaringan reklamasi pada rawa.[3]

Sektor Pertanian

[sunting | sunting sumber]

Di bidang pertanian, salah satu penyebab yang turut serta menyumbang emisi gas rumah kaca yaitu kegiatan pembakaran, kegiatan pemupukan, pelapukan, dan proses respirasi.[3] Oleh karena itu proyek mitigasi untuk sektor pertanian mempunyai fokus pada penerapan teknologi budidaya tanaman, pemanfaatan pupuk organik, penerapan bioenergi dan kompos, serta penggunaan teknologi biogas dan pakan untuk bisa membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.[3]

Sektor Limbah Rumah Tangga

[sunting | sunting sumber]

Pengurangan emisi gas rumah kaca tak terhindar dari hal mendasar di kehidupan sehari-hari. Contohnya sampah yang menumpuk baik yang jenisnya organik dan anorganik. Oleh karena itu beberapa cara yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di antaranya meningkatkan pengelolaan limbah air di daerah perkotaan, menerapkan teknik 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) dalam proses penanggulangan timbunan sampah, perbaikan dan rehabilitasi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan pemanfaatan daur ulang sampah menjadi bahan produksi energi yang ramah lingkungan.[3]

Sektor Energi dan Transportasi

[sunting | sunting sumber]

Beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor energi dan transportasi yaitu dengan menggunakan bahan bakar yang lebih bersih atau fuelswitching. Selain itu, turut serta mengoptimalisasikan energi terbarukan yang meliputi energi angin, energi panas, dan energi bumi. Mengoptimalisasikan pengganti minyak bumi dan mengoptimalisasikan energi nuklir. Selain itu, untuk transportasi massal diharapkan menggunakan yang rendah akan emisi serta ramah lingkungan. Strategi yang dilakukan yaitu mengubah pola penggunaan kendaraan pribadi ke pola transportasi rendah karbon.[3]

Lembaga Non-Pemerintah

[sunting | sunting sumber]

Di Kecamatan Gunung Sahilan Provinsi Riau terdapat sebuah proyek yang sangat mendukung mitigasi perubahan iklim. Proyek tersebut dikelola oleh PT Industri Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).[1] Bantuan yang diberikan oleh RAPP di antaranya berupa sarana produksi rumah bibit, penghijauan, dan pembuatan biogas. Selain itu RAPP juga membantu dalam hal administrasi legalitas serta pembinaan peternakan, perikanan, dan pertanian. Isi dari kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat yaitu membuat biopori dan tidak melakukan pembakaran lahan dengan sewenang-wenang. Dalam hal pengumpulan sampah sudah bisa membedakan jenis sampah.[1]

Perusahaan-perusahaan swasta seharusnya melaporkan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan secara jujur dan transparan.[4] Dari pelaporan yang transparan, diharapkan mampu memberikan kerangka dan batasan-batasan pencapaian mitigasi perubahan iklim yang sudah dan akan dilaksanakan. Oleh karena itu, perusahaan diharapkan mampu bekerja sama untuk membantu mitigasi perubahan iklim.[4] Kontribusi nyata yang dilakukan oleh perusahaan yang peduli terhadap perubahan iklim dengan menetapkan target berbasis sains. Perusahaan mempunyai target untuk menjaga panas bumi di bawah 2oC. Perusahan yang telah menerapkan basis sains yaitu Mahindra Group. Cara lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di lembaga non-pemerintah, dengan menerapkan harga karbon disetiap perusahaan. Cara ini bisa dilakukan dengan pendekatan perdagangan karbon, pajak karbon, batasan internal, dan bayangan harga. Selain target, ada juga advokasi yang perlu diperkuat. Salah satu pihak swasta yang mau bekerja sama dalam membuat kebijakan perubahan iklim yaitu We Mean Business Coalition dan UN Global Compact (UNGC). Kebijakan yang dibuat berisi aturan penting bagi setiap pemimpin yang ingin mempraktikkan rancangan perubahan iklim pasca Persetujuan Paris. Salah satu hasilnya tertuang dalam Climate Action Playbook 2018.[4]

Kerja Sama

[sunting | sunting sumber]

Indonesia menjalin kerja sama dengan negara Jepang dibidang mitigasi perubahan iklim dengan probram BlueCares.[5] Program ini memiliki tujuan untuk melestarikan ekosistem di pesisir laut dengan mengoptimalkan "karbon biru". Sebagai tindak lanjut dari program ini perlu diadakannya penelitian dibidang ekologi, modeling, geokimia, dan sosial-ekonomi, yang dikaitkan dengan aktivitas karbon biru.[5] Program ini berlangsung sejak tahun 2017-2022. Dampak bagi negara Indonesia yaitu terbangunnya laboratorium blue carbon yang berlokasi di Instalasi Teknologi Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta.[5]

Di Korea Selatan diadakan sebuah perogram nasional untuk menangani dampak perubahan iklim. Program itu bernama green growth.[6] Tujuan dari program ini yaitu menghimbau agar masyarakat Korea Selatan mandiri dalam mitigasi perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, Korea Selatan termasuk negara dengan penyumbang tertinggi di dunia terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Green growth pertama kali diperkenalkan tahun 2001. Namun, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak baru menetapkan green growth menjadi kebijakan nasional pada tahun 2008.[6] Setelah kebijakan itu ditetapkan, seluruh aktivitas ekonomi beralih menuju ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.[6]

Pembiayaan

[sunting | sunting sumber]

Sumber biaya untuk mitigasi perubahan iklim diperoleh dari berbagai sumber, di antaranya sumber publik dan sumber swasta. Biaya tersebut dialokasikan untuk pembiayaan lokal dan nasional.[7] Pada tahun 2009 dibentuk suatu organisasi yang mempunyai tugas sebagai koordinator pengumpulan dana dari berbagai sumber untuk pembiayaan program perubahan iklim. Organisasi itu bernama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).[8] Program pertama yang dilakukan ICCTF yaitu melaksanakan rehabilitasi Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Desa Lito, Kabupaten Sumbawa seluas 200 hektar (Ha). Dari proyek tersebut Indonesia Climate Change Trust Fund dinobatkan sebagai pencertus agroforestri.[8] Menurut Indonesia’s First Mitigation Fiscal Framework, bahwa biaya yang diperlukan untuk mitigasi perubahan iklim hingga tahun 2020 sebesar Rp. 670 triliun (USD 70,5 miliar), sedangkan bagi Indonesia baru mampu membiayai 23% dari total biaya mitigasi perubahan iklim.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n Prayogo, Cahyo (2018-10-23). "Bahu-Membahu Mitigasi Perubahan Iklim". Warta Ekonomi. Diakses tanggal 2019-10-04. 
  2. ^ a b c d "Prasetya Online : Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Global". prasetya.ub.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-21. Diakses tanggal 2019-10-21. 
  3. ^ a b c d e f "Knowledge Centre Perubahan Iklim - Mitigasi". ditjenppi.menlhk.go.id. Diakses tanggal 2019-10-04. 
  4. ^ a b c "5 Hal yang Dapat Dilakukan Perusahaan untuk Menekan Laju Perubahan Iklim | WRI Indonesia". wri-indonesia.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-31. Diakses tanggal 2019-10-31. 
  5. ^ a b c administrator. "Mitigasi Perubahan Iklim Global, Indonesia-Jepang Kerja Sama Konservasi Karbon Biru | KKP News". Diakses tanggal 2019-10-27. 
  6. ^ a b c Nizmi, Yusnarida Eka; Putra, Ari (2014/10). "Implementasi Kebijakan Green Growth Korea Selatan". Riau University. 
  7. ^ a b "Tentang Pembiayaan Perubahan Iklim". fiskal.kemenkeu.go.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-01. Diakses tanggal 2019-10-05. 
  8. ^ a b "Pembiayaan Perubahan Iklim di Indonesia". fiskal.kemenkeu.go.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-13. Diakses tanggal 2019-10-05.